Seorang yang baru lulus dari universitas (fresh graduate) memiliki
pendapatan bulanan pada kisaran jutaan atau belasana juta. Bagi Dea
Valencia Budiarto hal tersebut tak berlaku. Masih dalam usia 19 tahun,
ia sudah memiliki pendapatan miliaran rupiah per tahun. Semua itu berkat
ketekunannya menggeluti bisnis fesyen budaya, Batik Kultur by Dea
Valencia.
Sejak usia 16 tahun, Dea sudah menggali kreativitasnya.
Ketidaksanggupannya membeli batik yang ia inginkan justru menjadi awal
mula kesuksesannya. Dea menggeledah batik-batik lawas, menggunting
sesuai pola yang ia suka, dan membordirnya. Ia ciptakan pakaian dengan
hiasan batik lawas berbordir tadi.
"Ini pakai batik lawas yang udah lama disimpan di lemari misalnya. Kan
sering rusak, entah dimakan ngengat ataupun bolong kena banjir. Ya nggak
bisa disimpan lagi kan? Makanya itu saya gunting-guntingin, misalnya
bunga-bunganya. Nah dari situ saya bordir dan digabung dengan kain
lain," ungkap Dea di acara Wirausaha Muda Mandiri, Istora Senayan,
Jakarta Pusat.
Dari situ terciptalah kreasi Batik Kultur. Awal produksi, Dea hanya
membuat 20 potong pakaian. Kini? Ada 800 potong Batik Kultur yang
dipasarkan per bulannya. Dengan harga Rp 250.000 - 1,2 juta, nilainya
setara dengan Rp 3,5 M per tahun atau Rp 300 juta per bulan.
Dea memulai Batik Kultur benar-benar dari nol. Bahkan ia sendiri yang
menjadi model Batik Kultur. Wajar karena wajah Dea terbilang cocok di
hadapan kamera. Bahkan Dea sendiri yang mendesain produk Batik Kultur
padahal ia mengaku tak bisa menggambar.
"Desainernya saya sendiri padahal nggak bisa gambar. Imajinasi. Saya ada
satu orang yang diandalkan, kerja sama dengan saya. Apa yang ada di
otak saya transfer ke dia untuk dijadikan gambar," kata Dea.
Salah satu prinsip yang dipegang Dea dalam memasarkan produknya
sederhana dan menarik. Ia tak mau menjual barang yang ia sendiri tak
suka.
"Kalau sudah jadi pasti saya bikin prototype ukuran saya sendiri. Saya
coba, saya suka apa enggak? Karena saya nggak mau jual barang yang saya
sendiri nggak suka. Jadi barangnya itu kalau dilihat tidak terlalu
nyentrik, lebih seperti pakaian sehari-hari," imbuh gadis asli Semarang.
Tak cuma batik, Batik Kultur pun merambah ke tenun ikat. Khusus yang
satu ini, Dea harus membelinya di Jepara, tepatnya di Desa Troso yang
merupakan sentra tenun ikat. Jika dulu hanya membeli beberapa meter
kain, kini sekali kulakan Dea membeli tak kurang dari 400 meter tenun
ikat.
Sebagai alumni program studi Sistem Informasi Universitas Multimedia
Nusantara, Dea paham betul kekuatan internet untuk pemasaran. Batik
Kultur 95 persen memanfaatkan jaringan internet dalam urusan
permasalahan.
Dea menjadikan Facebook dan Instagram sebagai katalog dan media
komunikasi dengan konsumennya. Dari sana, referensi untuk Batik Kultur
menyebar dari mulut ke mulut. Integrasi dunia maya dan dunia nyata
menyukseskan bisnis Dea.
Namun sama seperti bisnis sukses lain, Batik Kultur menapak bukan tanpa
hambatan. Dea pernah dibuat depresi selama seminggu dan menjadi tak
produkti karena masalah hak paten.
"Hambatan... dulu pernah masalah di hak paten. Sebenarnya dulu namanya
bukan Batik Kultur by Dea Valencia tapi Sinok Culture. Tapi waktu diurus
nama mereknya ternyata sudah ada yang pakai merek Sinok. Saya sempat
stress selama seminggu. Karena nama Sinok sangat berarti buat saya.
Sinok adalah nama panggilan saya sejak kecil," tutur Dea.
Melihat segala pencapaian Dea, sulit mempercayai Batik Kultur ada di
tangan seorang perempuan muda usia 19 tahun yang sudah memegang gelar
sarjana komputer.
"Saya dulu nggak tahu kenapa sama ibu 22 bulan udah disekolahkan. Umur
lima tahun udah masuk SD. SMP dua tahun, SMA dua tahu. Jadi itu 15 tahun
masuk kuliah. Tiga setengah tahun kuliah, jadi umur 18 udah lulus,"
jelas Dea.
"Setelah lulus pulang ke rumah di Semarang fokus bisnis. Tiap bulan
nambah dua tiga pegawai, jadi kini sudah ada 36," imbuh Dea yang tinggal
bersama orangtuanya di Gombel, Semarang.
Meski masih muda dan memiliki pendapatan miliaran rupiah, Dea tak
melupakan lingkungan sekitar. Menarik jika mendengar pengakuan Dea
tentang beberapa karyawannya.
"Saya juga mempekerjakan karyawan yang misal nggak ada kaki tapi
tangannya masih bisa kerja. Penjahitnya ada enam yang tuna rungu dan
tuna wicara. Pertimbangannya? Giving back to society (timbal balik
kepada masyarakat)," terang Dea.
sumber | http://www.kaskus.co.id/thread/52ddfa1ebecb17807d8b46d1/si-cantik-yang-memiliki-pendapatan-rp-300-juta-bln/
Senin, 27 Januari 2014
Si Cantik yang memiliki pendapatan Rp 300 Juta/bln
23.35
No comments
0 comments:
Posting Komentar